Politik dan Film : Mohsen Makhmalbaf 2
Rabu, 9 Jun '10 14:27
Seorang pemuda umur 17 tahun dipenjara dan diancam hukuman mati setelah dengan nekat menusuk seorang polisi. Akhirnya, dengan pertimbangan usia yang masih muda ia mendapat hukuman lima tahun penjara. Siapa sangka setelah menghirup udara kebebasan paska revolusi Islam Iran dia menjadi salah satu sutradara besar di negerinya.Mohsen Makhmalbaf menjadi salah seorang sutradara yang populer dan berpengaruh di Iran. Menghabiskan masa remaja sebagai kelas pekerja, anggota organisasi militan dan berbenturan dengan rezim Shah memberikan pengaruh kuat dalam karya-karyanya. Masa penahanan dalam penjara Shah selama 4, 5 tahun membuatnya yakin bahwa masyarakat Iran lebih menderita akibat merosotnya kebudayaan. Hal ini membuat ia mengubah haluan dari jalur politik ke bidang seni. Karirnya selama bertahun-tahun dalam dunia perfilman menjadikan dirinya sebagai salah satu figur utama dalam sinema Iran. Film-filmnya menggali kedalaman hubungan antara wilayah individu, sosial dan politik dan menjadi semacam catatan kritis dari perjalanan politik Republik Islam ini.
Boycott
Salah satu filmnya yang menampilkan ironi dunia aktivis ialah Baykot(Boycott). Film tahun 1985 ini sering disebut-sebut terinspirasi pengalaman Makhmalbaf selama di penjara. Ada yang mengatakan jika film ini sebenarnya tidak untuk menghibur melainkan mempromosikan ideologi agama dan politik tertentu; pendapat yang menurut saya terbantahkan sendiri setelah menontonnya. Dengan menampilkan beberapa adegan awal yang berbau action layaknya film-film Hollywood - tembak-menembak, kejar-kejaran di jalan - film ini semakin terkesan 'revolusioner'.
Valeh, tokoh utama dalam film ini diperankan oleh Majid Majidi (yang kelak terkenal melalui filmnya Children of Heaven). Ia diburu dan tertangkap setelah meninggalkan istrinya yang sedang melahirkan di rumah sakit. Valeh dituduh terlibat dalam aktivitas kelompok Marxis, ia dimasukkan ke dalam penjara bersama rekan-rekannya yang juga telah tertangkap. Di awal masuk penjara, Valeh diboikot oleh rekan-rekannya. Mereka pura-pura tak mengenalnya untuk mengukur sampai di mana rahasia mereka dijamin dan tidak dibocorkan Valeh. Ia akhirnya divonis mati dengan pengadilan yang sangat tak adil. Di sinilah terjadi benturan-benturan pengalaman psikis yang dialami Valeh. Di satu sisi ia tetap ingin hidup dan menemui keluarganya, sementara rekan-rekannya ingin supaya Valeh mati sebagai martir, supaya semangat ideologi mereka tetap terpelihara.
Manusia adalah binatang ideologi, mereka hidup dan mati demi keyakinan tersebut. Oleh sebab itu, salah seorang tetua Marxis di penjara melakukan berbagai upaya konspirasi supaya Valeh tetap menjadi seorang yang setia pada perjuangan di mata para tahanan. Kenyataan yang pahit dan harus ditelan mentah-mentah oleh Valeh ketika ia bertemu dengan istrinya sebelum ia dieksekusi rezim Shah. Sang istri tidak mengetahui jika suaminya akan dieksekusi dan menawarkan kacamata baru sebagai pengganti yang pecah. "I don't need them, sunlight doesn't hurt my eyes, anymore" Jawab Valeh. Benar. Sinar matahari tak akan menyilaukan Valeh lagi, seperti halnya rezim yang tak akan menyiksanya kembali beserta beban ideologi yang harus ditanggungnya. Valeh meninggal sebagai pahlawan, paling tidak bagi sebagian besar tahanan di penjara tersebut. Seperti yang dikobarkan oleh satu rekannya di penjara, diikuti tarian revolusioner para tahanan. "He died a Marxist. Why have you stopped?" Ironi yang terus dipelihara para tahanan ini demi sebuah harapan mengenai kemerdekaan sebuah negeri.
Paska runtuhnya rezim Shah, Makhmalbaf memutuskan untuk menjadi penulis dan sutradara. Karya tulisnya telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa berupa penelitian terhadap cerita pendek,novel dan tentunya skenario film. Hamid Dabashi, profesor sejarah dan sastra di Universitas Columbia pernah menulis buku mengenai dirinya berjudul Makhmalbaf at Large, The Making of a Rebel Filmmaker. Selain itu, sutradara 'radikal' ini juga mendirikan sekolah film yang mendidik anak-anak muda Iran termasuk anak-anaknya. Nampaknya bakat sinema juga menular kepada istri dan keturunan Makhmalbaf, mereka antara lain Marzieh Meshkini, Hana Makhmalbaf dan Samira Makhmalbaf. Marzieh terkenal dalam film The Day I Became a Woman[200o], Samira berkontribusi dalam kumpulan film antar negara berjudul 11'0'9 [2001], dan Hana melalui Buddha Collapse Out of Shame [2007]. produktivitas keluarga sinema ini barangkali bisa diserupakan dengan keluarga Coppola yang lama malang melintang dalam dunia film. Meskipun, kita tak bisa dengan sembarangan menyamakan mereka secara kualitas dengan 'dinasti keluarga' lain dalam dunia hiburan film (yang mungkin ada) di Indonesia.
Tahun 2005, Makhmalbaf meninggalkan negaranya dan pindah ke Paris beberapa saat setelah Ahmadinejad ditetapkan sebagai presiden Iran. Ia ditunjuk sebagai juru bicara resmi Mir-Houssein Moussavi (lawan politik Ahmadinejad) dalam menyerukan kampanye hijau (Green Movement) di luar negeri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar